Kehidupan mahasiswa bukan hanya tentang ruang kuliah, buku, dan tugas. Ada ruang lain yang justru menjadi penopang lahirnya generasi intelektual, yakni organisasi mahasiswa. Organisasi adalah laboratorium demokrasi yang melatih kepemimpinan, menumbuhkan solidaritas, dan mempertajam kepekaan sosial. Namun, realitas di UNEJ Kampus II Bondowoso menunjukkan adanya problem struktural yang serius: mayoritas organisasi kemahasiswaan - baik UKM, himpunan, maupun Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) - masih berada di bawah induk UNEJ pusat di Jember.
Kondisi ini membuat mahasiswa Unej Kampus II Bondowoso seperti “menyewa rumah” di kampus sendiri. Untuk berorganisasi, mereka dipaksa menempuh jarak puluhan kilometer ke Jember. Faktor jarak, biaya, hingga risiko kecelakaan di jalan menjadi alasan kuat mengapa banyak mahasiswa akhirnya memilih tidak berorganisasi. Hasilnya? Budaya organisasi di Unej Kampus II Bondowoso stagnan, dan demokrasi kampus nyaris lumpuh.
Organisasi mahasiswa adalah hak mendasar setiap mahasiswa. Ia bukan sekadar pilihan tambahan setelah kuliah, melainkan bagian dari pendidikan itu sendiri. Melalui organisasi, mahasiswa belajar menjadi pemimpin, membangun jejaring, hingga melatih keberanian mengambil sikap atas persoalan sosial.
Jika mahasiswa Unej Kampus II Bondowoso terus “dipaksa” untuk bergantung pada induk kampus Universitas Jember, maka hak mereka sesungguhnya telah dipangkas. Mereka kehilangan kesempatan tumbuh setara dengan mahasiswa di pusat, hanya karena letak geografis yang berbeda. Padahal, asas keadilan menuntut agar setiap mahasiswa memiliki ruang yang sama untuk berproses.
Ketergantungan ini menimbulkan dampak nyata. Pertama, rendahnya partisipasi mahasiswa dalam organisasi intra. Kedua, lemahnya kultur demokrasi di Unej Kampus II Bondowoso. Ketiga, mahasiswa kehilangan arena untuk menyalurkan minat, bakat, dan gagasan. Dalam jangka panjang, kondisi ini melahirkan generasi sarjana yang minim pengalaman organisasi, kering kepemimpinan, dan rapuh menghadapi tantangan sosial.
Kita bisa bayangkan, mahasiswa yang hanya hidup dari rutinitas kelas tanpa pernah bersentuhan dengan dinamika organisasi, akan mudah goyah ketika terjun ke masyarakat. Mereka bisa cerdas secara akademik, tetapi miskin pengalaman kolektif.
Karena itu, sudah saatnya UNEJ Kampus II Bondowoso mendorong kemandirian organisasi mahasiswa. UKM, himpunan jurusan, hingga BEM harus berdiri secara independen di Unej Kampus II Bondowoso, tidak hanya sebagai cabang atau bayangan dari Jember. Ini bukan sekadar soal teknis kelembagaan, melainkan bagian dari upaya menghidupkan demokrasi kampus.
Dengan adanya kelembagaan mandiri, mahasiswa Unej Kampus II Bondowoso akan memiliki ruang yang dekat, aman, dan relevan dengan konteks lokal. Mereka tidak perlu lagi berjibaku di jalan raya hanya untuk rapat di Jember. Mereka bisa membangun kultur organisasi sendiri, sesuai kebutuhan dan potensi daerah Bondowoso.
Selain itu, kemandirian organisasi akan mendorong lahirnya kepemimpinan baru yang benar-benar berasal dari Unej Kampus II Bondowoso, bukan sekadar perpanjangan tangan dari pusat. Kepemimpinan yang lahir dari akar lokal ini jauh lebih peka terhadap problem masyarakat sekitar, entah itu soal agraria, pendidikan, atau pembangunan daerah.
Di tengah keterbatasan organisasi intra, PMII hadir sebagai rumah alternatif bagi mahasiswa Bondowoso. PMII tidak hanya menawarkan ruang diskusi intelektual, tetapi juga membangun tradisi spiritual dan aksi sosial. Ketika UKM dan himpunan masih bergantung pada induk kampus, PMII membuktikan bahwa mahasiswa Unej Kampus II Bondowoso mampu mandiri dalam berorganisasi.
Namun, PMII saja tidak cukup. Perlu ada dukungan struktural dari pihak kampus untuk melahirkan organisasi intra yang benar-benar mandiri. Dengan begitu, demokrasi kampus tidak hanya hidup di ruang ekstra, tetapi juga dalam tubuh kelembagaan resmi kampus.
Kemandirian organisasi mahasiswa di UNEJ Kampus II Bondowoso bukan sekadar kebutuhan, melainkan keharusan. Jika kampus terus membiarkan mahasiswa bergantung pada Jember, maka demokrasi di Unej kampus II Bondowoso akan mati pelan-pelan. Sebaliknya, jika kampus berani memberi ruang independen bagi UKM, himpunan, dan BEM di Unej Kampus II Bondowoso, maka kita akan melihat lahirnya generasi mahasiswa yang lebih kritis, progresif, dan siap menjadi agen perubahan di daerah.
Seperti kata pepatah, “Demokrasi hanya hidup ketika rakyat diberi ruang bersuara.” Maka di Unej Kampus II Bondowoso, demokrasi kampus hanya akan hidup jika mahasiswa diberi rumah organisasinya sendiri.
Penulis : Ahmad Fadhoil