Perubahan zaman tidak pernah berjalan pelan. Ia seperti sungai deras yang menyeret siapa pun yang tidak berakar. Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, Indonesia menghadapi tantangan serius: krisis identitas, erosi nilai kebangsaan, dan banjir informasi tanpa makna.
Kita hidup di era media sosial. Teknologi memang membuka akses informasi, namun sering mempersempit ruang refleksi. Demokrasi kita berjalan, tetapi politik identitas dan ujaran kebencian justru mengoyak tenun kebangsaan. Indonesia kini berada di persimpangan: tetap berakar pada nilai atau hanyut menjadi pasar ideologi dan modal asing.
Keindonesiaan: Bukan Sekadar Warisan
Keindonesiaan bukan hanya memakai batik atau menyanyikan lagu nasional, melainkan kesadaran kolektif yang tumbuh dari sejarah perjuangan, keberagaman budaya, dan semangat persatuan. Seperti dikatakan Benedict Anderson, bangsa adalah imagined community narasi bersama yang kita pilih untuk hidup di dalamnya.
Bagi PMII, keindonesiaan adalah ideologisasi kader: inklusif, berlandaskan nilai Aswaja, serta berjiwa nasionalis-religius. Inilah pusaka yang harus dijaga, bukan sekadar slogan.
Identitas yang Dipertaruhkan
Globalisasi dan kapitalisme digital telah mengubah cara generasi muda berpikir. Media sosial melahirkan mentalitas instan dan polarisasi, membuat banyak anak muda lebih mengenal selebriti luar negeri ketimbang pahlawan nasional. Literasi sejarah merosot, gaya hidup konsumtif merajalela, dan keindonesiaan kian rapuh.
Seperti diingatkan Moeljarto Tjokrowinoto, kita menghadapi “pembangunan yang membunuh nilai” ekonomi tumbuh, tapi jiwa kebangsaan melemah.
PMII sebagai Garda Peradaban
Dalam situasi ini, PMII tidak boleh jadi penonton sejarah. Meneguhkan keindonesiaan adalah panggilan zaman. Ada tiga strategi utama:
1. Islam Nusantara & Moderasi Agama
PMII harus menjaga Islam yang ramah, toleran, dan membumi. Islam Nusantara adalah wajah Islam yang selaras dengan kebangsaan, menolak radikalisme, dan menjaga harmoni.
2. Nasionalisme Progresif & Keberpihakan Sosial
Keindonesiaan sejati adalah keberpihakan pada rakyat kecil. Kader PMII harus hadir di desa, mendengar suara petani, buruh, dan nelayan. Nasionalisme tanpa keberpihakan hanyalah slogan kosong.
3. Literasi Digital & Produksi Wacana Kritis
Era ini menuntut kader PMII aktif di ruang digital. Tidak sekadar eksis, tetapi menciptakan narasi alternatif yang mencerahkan, menangkal hoaks, dan merawat kebangsaan.
Penutup
Indonesia bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga tanggung jawab masa depan. PMII harus menjadi rumah ideologi dan pusat transformasi, bukan sekadar pelengkap kampus. Meneguhkan keindonesiaan berarti berani melawan arus globalisasi yang mengikis akar bangsa, sambil merawatnya dengan dzikir, pikir, dan amal sholeh.
Keindonesiaan adalah jalan panjang, terjal, dan sepi, tetapi penuh harapan. Dan kader PMII telah memilih untuk berjalan di jalan itu bukan sekadar menonton sejarah, tetapi menulis dan mewujudkannya.
Tags
esai