HARJABO

gus durian bondowoso

Polisi Brutal: Saat Negara Kehilangan Wajah Kemanusiaannya

 

Oleh : Achlan Nuri (Ketua Komsat PMII UNEJ BWS 2024-2025) 


Di negeri yang mengaku demokratis ini, suara rakyat seharusnya menjadi sumber legitimasi tertinggi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya: rakyat justru diperlakukan bak musuh oleh aparat yang semestinya melindungi mereka. Brutalisme polisi dari pemukulan, penangkapan sewenang-wenang, hingga jatuhnya korban jiwa bukan lagi sekadar kasus insidental, melainkan sebuah pola represif yang terus berulang.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk siapa sebenarnya polisi bekerja? Apakah untuk rakyat yang membiayainya melalui pajak, atau untuk kekuasaan yang berlindung di balik tameng represif?

Aparat dan Konstitusi yang Dikhianati

Polisi seharusnya tunduk pada konstitusi dan undang-undang. Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Polri adalah alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, dan melayani rakyat, serta menegakkan hukum. Demikian pula, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menekankan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Aspirasi rakyat dibungkam dengan gas air mata, pentungan, bahkan peluru. Aksi damai berakhir dengan luka, tangisan, dan kematian. Ini adalah bentuk pengkhianatan terang-terangan terhadap konstitusi dan mandat reformasi.

Kebrutalan polisi bukan sekadar ulah oknum. Ia adalah warisan kultur represif rezim otoriter yang masih melekat kuat dalam tubuh institusi kepolisian. Pola pikir bahwa rakyat adalah ancaman telah membuat polisi lebih sibuk mengamankan kekuasaan daripada mengayomi masyarakat.

Setiap kali rakyat turun ke jalan menyuarakan keadilan, polisi hadir bukan sebagai pengaman, melainkan sebagai algojo. Dan ketika nyawa rakyat melayang, negara seakan berlindung di balik dalih "oknum". Padahal, yang rusak adalah sistem, bukan hanya individu.

Jika brutalitas polisi terus dibiarkan, maka kepercayaan publik terhadap negara akan hancur. Negara kehilangan wajah kemanusiaannya ketika aparat yang seharusnya melindungi justru menjadi mesin penindas. Karena itu, reformasi total kepolisian adalah kebutuhan mendesak, bukan sekadar wacana.

Reformasi itu harus menyentuh tiga aspek utama: struktur, kultur, dan manajemen. Struktur Polri harus transparan dan akuntabel; kultur kekerasan harus diganti dengan orientasi pelayanan publik; manajemen harus memastikan pengawasan independen agar setiap pelanggaran aparat bisa diadili secara terbuka.

Kita tidak boleh diam. Darah rakyat yang tumpah bukan sekadar statistik, melainkan jeritan kemanusiaan yang menuntut keadilan. Brutalisme polisi adalah wajah lain dari negara yang gagal. Jika polisi terus menindas rakyat, maka rakyat berhak menyebut bahwa negeri ini sedang berjalan menuju fasisme.

Dan dari Bondowoso, kita tegaskan: tidak ada demokrasi tanpa kebebasan rakyat, tidak ada keadilan tanpa keberanian menindak aparat brutal.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال