HARJABO

gus durian bondowoso

Dari Fathor Rozy ke Nur Haris: Refleksi Rifky Gimnastiar atas Dinamika Kaderisasi Berkelanjutan

 

Oleh : Rifky Gimnastiar (Ketua PMII Rayon Averroes 2024/2025)

PMII UNEJ BWS - Kepemimpinan dalam organisasi kaderisasi selalu menjadi ruang diskursus yang tak pernah selesai dibicarakan. Tidak cukup hanya dipahami sebagai posisi struktural, kepemimpinan harus ditafsirkan sebagai ruh yang menggerakkan kehidupan organisasi. Dalam refleksi ini, saya, Rifky Gimnastiar, mencoba menggali ulang makna kepemimpinan kaderisasi berkelanjutan dengan membaca dan menafsirkan pesan dari dua kakak organisasi saya, yakni Fathor Rozy dan M. Nur Haris. Dua tokoh ini tidak hanya memberi pandangan, tetapi juga mewariskan spirit bagi kader muda untuk terus bergerak dan bertransformasi.

Fathor Rozy, S.Pd, kini menjabat sebagai Direktur Gerbong Nusantara Center (GNC) dan Ketua Kaderisasi PC. GP Ansor Bondowoso. Sebelumnya, beliau adalah Ketua Umum PC PMII Bondowoso yang dikenal dengan ketegasannya membangun kepemimpinan kolektif. Pesannya masih melekat dalam ingatan: “Dalam satu organisasi hanya ada satu pemimpin tapi jiwa kepemimpinan harus dimiliki oleh setiap pengurus dan anggotanya.” Sebagai adik organisasi, saya memandang pesan ini bukan sekadar nasihat, melainkan peta jalan untuk membangun organisasi yang tidak rapuh. Ia mengajarkan bahwa kepemimpinan formal memang satu, namun kepemimpinan substantif harus tumbuh dalam diri semua kader.

Pesan Fathor Rozy sangat relevan bagi generasi muda yang sedang berproses. Jiwa kepemimpinan yang dimaksud bukanlah tentang jabatan, melainkan tentang kesediaan untuk bertanggung jawab, berinisiatif, dan menyalakan semangat kolektif. Jika hanya satu orang yang memikul tanggung jawab, organisasi mudah rapuh ketika ia lengah atau jatuh. Tetapi ketika jiwa kepemimpinan hidup di setiap anggota, organisasi akan selalu tangguh, karena banyak tangan yang siap menopang. Refleksi saya sebagai kader adalah, pesan itu mengingatkan agar tidak berhenti menjadi pengikut, melainkan tumbuh menjadi penggerak.

Sementara itu, M. Nur Haris, yang pernah menjadi pengurus PMII Komisariat RBA IAI At-Taqwa Bondowoso, kini dikenal sebagai Ketua Bidang I Kaderisasi PC. PMII Bondowoso 2025/2026, Ia pernah menyampaikan pesan yang penuh makna: “Kaderisasi jangan kaku, harus fleksibel dan dinamis. Jangan terpaku pada satu plan saja, tapi harus ada plan-plan lain untuk menjadi solusi ketika plan awal tak sesuai dengan tupoksi objek kaderisasi.” Pesan ini saya pahami sebagai nasihat praktis sekaligus kritis. Bahwa realitas sosial tidak bisa dipaksa tunduk pada satu rencana, melainkan harus didekati dengan fleksibilitas.

Sebagai adik organisasi, saya melihat gagasan Nur Haris tidak hanya membicarakan teknis kaderisasi, tetapi juga memberikan paradigma baru. Banyak organisasi terjebak dalam rutinitas program sehingga gagal membaca konteks. Akibatnya, kader merasa jenuh dan proses kaderisasi kehilangan ruhnya. Pesan beliau menegaskan bahwa fleksibilitas bukan berarti kehilangan arah, melainkan strategi agar kaderisasi tetap relevan dengan kebutuhan zaman dan kondisi kader. Bagi saya, inilah letak keindahan kepemimpinan transformatif: berani mengubah metode tanpa mengkhianati tujuan.

Mengutip dan merefleksikan pesan kedua kakak organisasi ini membuat saya semakin yakin bahwa kepemimpinan dan kaderisasi adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Fathor Rozy menekankan pada kolektivitas jiwa kepemimpinan, sementara Nur Haris menegaskan pentingnya fleksibilitas. Keduanya saling melengkapi. Tanpa jiwa kepemimpinan yang merata, organisasi menjadi rapuh. Tanpa fleksibilitas, organisasi menjadi kaku dan stagnan. Maka, dinamika kaderisasi yang elegan adalah ketika kolektivitas dan fleksibilitas bertemu dalam satu harmoni.

Dari refleksi itu pula, saya belajar bahwa kaderisasi harus dipahami secara heroik. Heroik bukan berarti penuh dramatisasi, melainkan kesediaan untuk berjuang melawan stagnasi, menghidupkan ide-ide baru, dan menyalakan semangat transformasi. Organisasi yang sehat adalah organisasi yang berani mengakui kelemahan, lalu bangkit dengan alternatif solusi. Inilah yang dimaksud dengan akselerasi: mempercepat langkah, mempercepat pembelajaran, dan mempercepat regenerasi.

Namun, saya juga menyadari bahwa memimpin dalam konteks kaderisasi bukan perkara mudah. Teori bisa menjadi peta, tetapi jalan harus ditempuh dengan pengalaman nyata. Pesan Rozy dan Haris memberi pelajaran penting bahwa kepemimpinan sejati bukan sekadar soal posisi, melainkan tentang kesediaan untuk menjadi penopang dan penggerak. Seorang pemimpin tidak boleh kaku dalam menghadapi perubahan, dan setiap anggota harus memiliki jiwa kepemimpinan agar roda organisasi tidak berhenti.

Pada akhirnya, refleksi ini membawa saya pada satu kesimpulan: kepemimpinan kaderisasi berkelanjutan yang elegan hanya bisa lahir jika kita menggabungkan kolektivitas, fleksibilitas, dan akselerasi. Pesan Fathor Rozy dan Nur Haris sebagai kakak organisasi saya adalah warisan berharga untuk generasi berikutnya. Dari merekalah saya belajar bahwa memimpin bukan sekadar menjalankan rencana, tetapi juga membangun jiwa kepemimpinan dalam diri semua kader. Dengan cara itu, estafet kepemimpinan akan terus berjalan, organisasi tidak hanya bertahan, tetapi juga bertransformasi menyalakan peradaban.

Ilmu dan Bakti kuberikan, Adil dan Makmur kuperjuangkan. Al-Hayah Al-Harakah, Salam Pergerakan !

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال