gus durian bondowoso

Tiga Tahun Kanjuruhan: Siapa yang Masih Bisa Kita Percaya?

 


Hari ini, tepat tiga tahun sejak malam kelam di Stadion Kanjuruhan. Malam ketika sepak bola berubah menjadi kuburan massal. Malam ketika 135 nyawa dipaksa meregang di tribun, lorong, dan pintu yang terkunci. Malam ketika tangisan, teriakan, dan gas air mata menjadi saksi bagaimana kemanusiaan runtuh di bawah tembok kekuasaan.

Saya menulis ini bukan hanya sebagai penyintas, tetapi sebagai bagian dari Aremania yang hingga kini terus merawat ingatan. Luka itu masih segar, seolah-olah baru kemarin dada ini sesak oleh asap dan mata ini perih oleh air mata. Tiga tahun telah berlalu, tetapi apa yang berubah? Nyawa yang hilang tidak pernah kembali. Keadilan yang dijanjikan tak kunjung tiba. Negara masih sibuk menutup wajah dengan retorika, sementara keluarga korban menutup mata dengan kesedihan yang tak pernah kering.

Kita harus jujur, tragedi Kanjuruhan bukan sekadar “kecelakaan stadion”. Ia adalah kejahatan kemanusiaan. Negara tidak bisa lagi bersembunyi di balik istilah teknis, prosedural, atau bahkan alasan “ketidaksengajaan”. Aparat yang seharusnya melindungi, justru menjadi tangan yang menekan pelatuk. Dan federasi yang seharusnya mengayomi, justru memilih diam, sibuk menjaga bisnis, dan membungkus tragedi ini dengan slogan kosong tentang reformasi sepak bola.

Tiga tahun sudah, tetapi pertanyaan ini masih menggantung di udara: siapa yang harus kita percaya? Presiden yang menunda jawaban dengan canda? Aparat hukum yang hanya menghukum segelintir orang berpangkat rendah? Atau federasi yang sibuk menatap layar kontrak sponsor sambil berpura-pura peduli?

Tragedi Kanjuruhan adalah cermin betapa rapuhnya negara ini dalam menegakkan nilai kemanusiaan. Ia membuktikan bahwa dalam sistem yang dikuasai oligarki, nyawa rakyat bisa diperlakukan seperti angka statistik belaka. Ia mengingatkan kita bahwa negara sering kali hadir hanya sebagai aparat represi, bukan sebagai pelindung kehidupan.

Sebagai bangsa, kita menghadapi pilihan: membiarkan Kanjuruhan larut dalam lupa, atau menjadikannya monumen ingatan kolektif. Karena yang lebih berbahaya dari tragedi itu sendiri adalah lupa. Lupa akan melahirkan impunitas. Impunitas akan melahirkan tragedi-tragedi baru.

Hari ini, peringatan 3 tahun Kanjuruhan bukanlah sekadar momen duka, tetapi sebuah pernyataan politik: bahwa kita tidak akan diam. Bahwa ingatan ini akan terus kita bawa, kita wariskan, kita suarakan. Bahwa keadilan bukanlah hadiah yang diberikan dari atas, melainkan sesuatu yang harus terus kita tagih, kita perjuangkan, kita rebut.

135 nyawa yang gugur di Kanjuruhan adalah suara yang tak boleh dibungkam oleh waktu. Mereka adalah anak-anak bangsa yang menjadi korban dari sistem yang rusak. Dan kita, yang masih hidup, punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa tragedi semacam itu tidak lagi terulang.

Selama negara gagal menghadirkan kebenaran dan keadilan, maka Kanjuruhan akan terus hidup sebagai luka, sebagai perlawanan, dan sebagai pengingat. Bahwa sepak bola tanpa kemanusiaan hanyalah arena bisnis. Bahwa negara tanpa keadilan hanyalah panggung kekuasaan. Dan bahwa rakyat tanpa ingatan hanyalah kawanan yang mudah ditundukkan.

Tiga tahun sudah berlalu, tetapi perjuangan kita belum selesai. Karena Kanjuruhan bukan sekadar milik Malang, bukan sekadar milik Aremania. Ia adalah luka bangsa. Ia adalah pengingat bahwa setiap nyawa rakyat seharusnya lebih berharga daripada kursi kekuasaan.

Hari ini saya berdiri, bersama Aremania Bondowoso Raya, membawa pesan sederhana namun tegas: keadilan untuk 135 korban bukan pilihan, melainkan keharusan. Dan selama itu belum terwujud, kami akan terus bersuara.

Salam satu jiwa, AREMA!! 

Penulis: Achlan Nuri

(Aktivis PMII dan Koordinator Aremania Bondowoso Raya)

إرسال تعليق

أحدث أقدم

نموذج الاتصال